Kartel dan Monopoli
Kartel
merupakan istilah yang dikenal dalam bidang ekonomi dan bidang hukum. Di bidang
ekonomi, kartel menyatakan perilaku atau praktik yang berhubungan dengan
persaingan industri atau persaingan usaha. Di bidang hukum, praktik tersebut
dilarang secara hukum, karena dapat merugikan kepentingan umum atau publik.
Secara sederhana, kartel adalah bentuk persekongkolan dari beberapa pihak yang
bertujuan untuk mengendalikan harga dan distribusi suatu barang untuk
kepentingan (keuntungan) mereka sendiri.
Definisi Kartel
Dalam
kamus Oxford, kartel atau cartel didefinisikan, “Cartel is a group of separate
business firms wich work together to increase profits by not competing with
each other”. Artinya, kartel adalah sebuah kelompok (grup) dari berbagai badan
hukum usaha yang berlainan yang bekerja sama untuk menaikkan keuntungan
masing-masing tanpa melalui persaingan usaha dengan pelaku usaha lainnya.
Mereka adalah sekelompok produsen atau pemilik usaha yang membuat kesepakatan
untuk melakukan penetapan harga, pengaturan distribusi dan wilayah distribusi,
termasuk membatasi suplai.
Dalam buku
Black's Law Dictionary (kamus hukum dasar yang berlaku di Amerika Serikat),
praktik kartel (cartel) didefinisikan, “A combination of producer of any
product joined together to control its productions its productions , sale and
price, so as to obtain a monopoly and restrict competition in any particular
industry or commodity”. Artinya, kartel merupakan kombinasi di antara berbagai
kalangan produsen yang bergabung bersama-sama untuk mengendalikan produksinya,
harga penjualan, setidaknya mewujudkan perilaku monopoli, dan membatasi adanya
persaingan di berbagai kelompok industri. Dari definisi tersebut, praktik
kartel bisa dilakukan oleh kalangan produsen manapun atau untuk produk apapun,
mulai dari kebutuhan pokok (primer) hingga barang kebutuhan tersier.
Samuelson dan
Nordhaus (2001: 186) dalam buku “Economics” menuliskan pengertian kartel,
“Cartel is an organization of independent firms, producing similar products,
that work together to raise prices and restrict outputs”. Artinya, kartel
adalah sebuah organisasi yang terbentuk dari sekumpulan perusahaan-perusahaan
independen yang memproduksi produk-produk sejenis, serta bekerja sama untuk
menaikkan harga dan membatasi output (produksi). Poin penting pada definisi
tersebut terletak pada tujuannya, yaitu menaikkan harga dan membatasi output.
Seorang pakar
hukum legal dan ekonom, Richard Postner dalam bukunya “Economic Analysis of
Law” (2007: 279) menuliskan pengertian kartel, “A contract among competing
seller to fix the price of product they sell (or, what is the small thing, to
limit their out put) is likely any other contract in the sense that the parties
would not sign it unless they expected it to make them all better off”.
Artinya, kartel menyatakan suatu kontrak atau kesepakatan persaingan di antara
para penjual untuk mengatur harga penjualan yang bisa diartikan sebagai
menaikkan harga ataupun membatasi produknya yang setidaknya mirip dengan
kontrak pada umumnya di mana anggota-anggotanya tidak menginginkannya, kecuali
mereka mengharapkan sesuatu yang lebih baik. Definisi kartel oleh Postner lebih
menekankan pada aspek moralitas di mana praktik kartel sesungguhnya bukan
sesuatu yang diinginkan oleh setiap anggotanya, kecuali mereka hendak
mengharapkan bisa mendapatkan sesuatu yang lebih dari kesepakatan (kontrak)
tersebut.
Praktik kartel atau
kartel disebutkan pula dalam Pasal 11, Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang
Monopoli dan Persaingan Usaha yang dituliskan, “Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat”. Praktik kartel di Indonesia adalah suatu bentuk perbuatan atau tindakan
yang melanggar hukum, karena akan membentuk suatu perilaku monopoli ataupun
bentuk perilaku persaingan usaha yang tidak sehat.
Memahami kartel
perlu pula memahami prinsip dasar atau pengertian dasar dari perilaku monopoli.
Pengertian monopoli dalam bukan lagi menitikberatkan pada jumlah pelaku usaha
atau produsen, melainkan pada perilakunya untuk mengendalikan harga dan
distribusi output atau kapasitas output. Jadi bisa saja perilaku monopoli tadi
ditemukan pada struktur persaingan yang terdiri atas beberapa perusahaan,
biasanya sekitar 2-5 perusahaan besar atau ditemukan pada struktur pasar
persasingan oligopoli. Pasar persaingan yang memiliki cukup besar konsumen,
tetapi hanya memiliki beberapa produsen akan cukup kuat mengindikasikan adanya
praktik monopoli. Munculnya praktik kartel ataupun trust tidak lain adalah
untuk mewujudkan kekuatan (perilaku) monopoli.
Apa Perbedaan
Antara Kartel dan Trust?
Selain dikenal
istilah kartel, ada pula istilah lain yang memiliki kemiripan, yaitu trust.
Keduanya memiliki kesamaan dilarang menurut undang-undang. Pada Pasal 12,
Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha diatur
mengenai trust yang dituliskan, “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan
anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Dari definisi menurut KPPU tersebut,
perbedaannya terletak pada prinsip aktualitasnya. Kesepakatana di dalam kartel
biasanya tidak secara nyata diwujudkan, tetapi tetap ada dan diakui dan
dijalankan oleh anggota-anggotanya. Sedangkan pada trust, kesepakatan tersebut
diwujudkan nyata ke dalam suatu wadah organisasi yang tercatat pula legalitas
hukumnya. Sekalipun demikian, trust melakukan praktik monopoli seperti halnya
kartel.
Jika demikian,
mengapa keduanya mesti dipisahkan?
Pemisahan
antara kartel dan trust, karena berhubungan dengan legalitas badan usaha.
Seperti yang dijelaskan di atas, praktik kartel tidak berwujud nyata, tetapi
ada dan dilakukan secara sengaja. Sementara trust memiliki bentuk nyata berupa
badan usaha seperti asosiasi industri, persatuan dagang, dan sejenisnya. Oleh
karenanya, perlu diberikan pemisahan, karena dasar hukum yang digunakan untuk
menindaklanjutinya pun harus dibedakan.
Bagaimana
contoh pratik kartel dan trust?
Misalnya di
dalam sebuah industri terdapat 3 produsen atau perusahaan yang memegang tiga
besar pangsa pasar. Mereka seluruhnya memiliki setidaknya sekitar 60% pangsa
pasar dari produk yang dijual atau dipasarkan. Karena mereka berdomisili di
wilayah yang sama, tidak tertutup kemungkinan akan saling mengenal atau
mengetahui, bahkan saling berkomunikasi. Jalinan komunikasi atau relasi di
antara mereka kemudian menciptakan sikap saling pengertian. Salah satunya
diwujudkan dengan membagi dengan sendirinya segmen konsumennya berdasarkan
wilayah. Ada pula yang membagi segmen konsumennya berdasarkan kategori produk.
Perusahaan A akan fokus ke segmen di Indonesia bagian timur, lalu perusahaan B
fokus di Indonesia bagian tengah, kemudian perusahaan C akan menyasar produknya
untuk menguasai pasar di Indonesia bagian barat. Perilaku bisnis seperti ini
memiliki indikasi kuat tentang terjadinya praktik kartel.
Ilustrasi lain
untuk menggambarkan praktik trust bisa diketahui melalui asosiasi bisnis ataupun
kongsi dagang. Organisasi tersebut dengan sendirinya akan dikuasai dan
dipengaruhi oleh 3-4 besar kelompok pemimpin pasar (market leader). Mereka
kemudian membuat aturan ataupun ketentuan yang mengatur harga, distribusi
produk atau wilayah pemasaran, segmentasi ataupun sasaran konsumen, dan
sebagainya. Organisasi ini bisa memiliki keanggotaan lebih dari 5 perusahaan,
tetapi suara ataupun pengaruh terbesar tentunya hanya dimiliki oleh 3-4
perusahaan pemimpin pasar. Kesepakatan bisnis tersebut tentunya pula hanya akan
semakin menguntungkan atau berpihak pada sebagian besar kepentingan 3-4 besar
perusahaan pemimpin pasar.
Mengapa Kartel
Dilarang?
Menjawab
pertanyaan tersebut, perlu diketahui tentang perlunya tercipta suatu iklim
persaingan usaha yang sehat. Persaingan usaha yang sehat akan memberikan
manfaat positif bagi perekonomian. Dari sisi produsen, persaingan usaha yang
sehat akan mendorong terciptanya efisiensi produksi dan alokasi input, serta
akan mendorong para pelaku usaha (produsen) untuk memperbanyak inovasi di
segala lini produksi, termasuk pula infrastruktur produksi. Dari sisi konsumen
akan mendapatkan manfaat berupa harga yang relatif lebih murah, karena harga
output terbentuk oleh proses produksi ataupun pengelolaan organisasi produksi
yang efisien.
Sesuatu yang
tidak dikehendaki oleh produsen dalam iklim persaingan adalah ketidakpastian
bisnis. Tidak sedikit nama-nama besar perusahaan dunia akhirnya tenggelam
akibat semakin tingginya intensitas persaingan. Sebut saja seperti perusahaan
garmen terkemuka dengan merek “Levi's” yang kini sudah tidak lagi terdengar
namanya. Atau seperti Ericsson, Siemens Telecommunication, Kodak, dan lain-lain
yang sempat besar di masa kejayaannya. Ada ribuan perusahaan-perusahaan besar
yang sudah tidak lagi terdengar namanya karena begitu ketatnya persaingan
bisnis. Inovasi adalah segalanya, bahwa siapapun mereka yang unggul dalam
inovasi berpikir yang akan mampu bertahan. Sekalipun demikian, tidak semua
pihak (perusahaan atau produsen) yang menginginkan atau bertahan di tengah
persaingan melalui inovasi berpikir. Tidak ada jaminan inovasi akan selalu
menjadi segalanya, karena persaingan bisnis selalu diikuti dengan
ketidakpastian.
Praktik kartel
maupun trust dalam bentuk apapun pasti akan berujung pada kondisi yang
merugikan konsumen. Sekalipun praktik tersebut diatur oleh pemerintah, kecuali
praktik kartel dilakukan oleh perusahaan milik pemerintah yang notabene tidak
selalu berorientasi untuk mengejar laba (profit). Praktik akan menutup adanya
peluang bagi masuknya inovasi maupun perusahaan (pendatang baru) yang bisa
menawarkan harga lebih murah dan pelayanan yang lebih baik. Seringkali pula
terjadi, praktik kartel maupun trus akan menutup peluang perusahaan lain
(pendatang baru) untuk menawarkan sistem produksi yang lebih baik, sehingga
akan mampu menciptakan harga yang lebih efisien (lebih murah).
Apakah praktik
kartel maupun trust menguntungkan bagi pelaku-pelakunya?
Belum pernah
ada dalam sejarah organisasi bisnis di mana perilaku monopoli akan membuat perusahaan
menjadi cukup besar. Nama-nama perusahaan multinasional saat ini, termasuk yang
masuk ke Indonesia bukanlah nama-nama yang dihasilkan dari praktik monopoli,
melainkan mereka menjadi besar karena dampak dari persaingan usaha yang sehat.
Mereka mengkedepankan inovasi di segala lini, bahkan inovasi dalam berpikir.
Bertolak belakang dengan mereka yang cenderung berperilaku monopoli melalui
praktik kartel. Inovasi bukanlah orientasi utama, bahkan seringkali hanya
ditempatkan pada prioritas paling dasar. Pelaku praktik kartel lebih
mengkedepankan unsur kolusi bisnis yang tidak jarang akan melibatkan
pemerintahan. Itu sebabnya, mengapa perusahaan-perusahaan besar yang pernah ada
di Indonesia tidak pernah menjadi ikon dunia. Contoh kongkritnya seperti ASTRA
yang setelah reformasi justru menumpuk banyak utang.
Lalu, manfaat
apa yang mereka dapatkan dengan melakukan praktik kartel?
Sebenarnya
tidak ada sama sekali manfaatnya, kecuali mereka hanya mencoba untuk bertahan.
Mereka mungkin masih bisa melakukan ekspansi bisnis, tetapi tidak ada satupun
di antaranya yang berpeluang menjadi perusahaan level dunia. Mereka hanya
sekedar bisa memutar uang. Manfaatnya mungkin hanya karena mereka bisa bertahan
dengan pencapaian yang telah ada. Sekalipun demikian, seluruh konsumen dan
karyawannya lah yang akan menanggung kerugian mereka. Dalam banyak hal, praktik
kartel biasanya akan diikuti oleh sejumlah pelanggaran hukum lainnya. Misalnya
seperti korupsi, pelanggaran pajak, perkara perdata, bahkan sampai pada perkara
pidana.
Syarat
Terbentuknya dan Karakteristik Kartel
Praktik kartel
biasanya diwujudkan ke dalam sebuah kongsi dagang tertentu yang memiliki jenis
badan hukum tertentu pula. Semacam perserikatan ini pula memiliki aturan atau
ketentuan yang disepakati oleh anggota-anggotanya. Untuk bisa terjadi praktik
kartel harus memiliki pernjanjian atau kolusi di antara pelaku usaha. Ada dua
bentuk kolusi yang mengindikasikan terjadinya praktik kartel, yaitu:
1. Kolusi
Eksplisit
Para
anggota-anggotanya mengkomunikasikan kesepakatan mereka secara yang dapat
dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian, data audit bersama, kepengurusan
kartel, kebijakan-kebijakan tertulis, data penjualan, dan data lainnya. Bentuk
kolusi eksplisit tidak selalu harus diwujudkan dalam asosiasi kecil, komunitas
terbatas, paguyuban, dan lain sebagainya. Ini berbeda dengan trust, karena pada
trust diwujudkan ke dalam asosiasi atau organisasi yang memiliki badan hukum
yang cukup jelas.
2. Kolusi
Diam-Diam (Implisit)
Para pelaku
atau anggota-anggotanya tidak berkomunikasi secara langsung atau tidak
melakukan pertemuan terbuka (diliput oleh media). Tetapi mereka para anggota
kartel melakukan pertemuan secara tertutup, biasanya dilakukan secara rahasia.
Mereka ini pun terkadang menggunakan organisasi berupa asosiasi yang fungsinya
sebagai kedok atau kamuflase. Dalam asosiasi tercantum mendukung persaingan
usaha yang sehat, tetapi dibalik semua itu hanya sebagai pengalihan. Menurut
KPPU, jenis kartel dengan kolusi implisit ini lebih sulit untuk dideteksi. Dari
semua kasus kartel di dunia, sekitar 30% di antaranya melibatkan asosiasi.
Mengenai larangan melakukan perjanjian tertutup diatur dalam Pasal 15,
Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha.
Perlu
digarisbawahi, bahwa tidak semuanya jenis kolusi bisnis selalu berkonotasi
negatif terhadap persaingan usaha. Terdapat pula kolusi yang positif, seperti
kolusi dalam menggalang dana bantuan untuk anak-anak miskin, bencana alam dan
sebagainya, atau bentuk kolusi yang sama sekali tidak berkaitan dengan bisnis
dan persaingan. Itu sebabnya, kartel secara umum haruslah memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Terdapat
konspirasi (persekongkolan) di antara pelaku usaha
2. Melibatkan
peran dari senior perusahaan atau jabatan eksekutif perusahaan
3. Biasanya
menggunakan asosiasi untuk menutupi persekongkolan tadi
4. Melakukan
price fixing atau tindakan untuk melakukan penetapan harga, termasuk pula
penetapan kuota produksi.
5. Adanya
ancaman atau sanksi bagi anggota-anggotanya yang melanggar kesepakatan atau
perjanjian.
6. Adanya
distribusi informasi ke seluruh anggota kartel. Informasi yang dimaksudkan
berupa laporan keuangan, laporan penjualan, ataupun laporan produksi.
7. Adanya
mekanisme kompensasi bagi mereka para anggota yang memiliki produksi lebih
besar atau melebihi kuota yang telah ditetapkan bersama. Kompensasi tersebut
dapat berupa uang, saham, pembagian bunga deviden yang lebih besar, ataupun
bentuk kemitraan lain.
Kondisi-kondisi
berikut ini adalah yang membuat pelaku kartel tetap bertahan melakukan praktik
monopoli. Dalam hal ini, praktik kartel harus memiliki kondisi-kondisi sebagai
berikut:
1. Jumlah
pelaku usaha lebih sedikit, atau setidaknya hanya didominasi oleh segelintir
perusahaan. Biasanya memiliki jumlah atau ukuran industri sebanyak 5-10
perusahaan di mana hanya terdapat 1-4 perusahaan yang mendominasi di dalam
asosiasi.
2. Produknya
bersifat homogen atau hanya dilakukan apabila mereka para anggota-anggotanya
memiliki produk yang sama.
3. Elastisitas
permintaan atas produk-produknya relatif rendah. Seberapa pun mereka menetapkan
harga relatif tidak memiliki dampak yang berarti terhadap permintaan. Di
sinilah titik kekuatan kartel, karena konsumen tidak dikondisikan tidak
memiliki banyak pilihan lain selain menggunakan produk-produk yang dibuat oleh
anggota-anggota kartel.
4. Selalu
terdapat upaya untuk mencegah masuknya pendatang baru (pesaing)
5. Selalu
melakukan kecurangan dalam bentuk laporan keuangan fiktif, data penjualan yang
fiktif, dan lain sebagainya.
6. Kartel
biasanya dilakukan di sektor bisnis yang membutuhkan investasi yang cukup
besar. Di sinilah titik kekuatan mereka yang sekaligus dimanfaatkan untuk
semakin memperbesar restriksi atau hambatan bagi masuknya pendatang baru.
Adakah
pengecualian atau bentuk perjanjian maupun kesepakatan bisnis di antara
korporasi agar tidak dikenakan pasal mengenai kartel ataupun trust?
Memang benar,
tidak semua bentuk kesepakatan sepihak di antara korporasi dilarang menurut
undang-undang. Pengecualian dapat ditoleransi untuk kondisi-kondisi sebagai
berikut:
1. Perbuatan
dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundangundangan
yang berlaku;
2. Perjanjian
yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten,
merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu,
dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
3. Perjanjian
penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan
atau menghalangi persaingan;
4. Perjanjian
dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali
barang dan atau jasa dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan;
5. Perjanjian
kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat
luas;
6. Perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
7. Perjanjian
dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan
dan atau pasokan pasar dalam negeri;
8. Pelaku usaha
yang tergolong dalam Usaha Kecil; atau
9. Kegiatan
usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Jika pelaku
usaha kecil masih diperbolehkan melakukan kartel, apakah ketentuan tersebut
bukan berarti mengesampingkan asas keadilan dalam berekonomi?
Saya ingin
menunjukkan sebuah praktik kartel kecil yang dilakukan oleh pelaku usaha
penjual makanan lesehan di sepanjang Malioboro (Yogyakarta) dan sekitarnya.
Jika diperhatikan, indikasi kartel terlihat dari harga makanan yang dipatok
sama untuk setiap penjual. Apabila terdapat selisih, biasanya cuma selisih pada
menu tambahan yang sedikit pengaruhnya terhadap penguasaan calon pembeli.
Praktik kartel dalam kasus penjual lesehan di Malioboro masih bisa ditoleransi,
karena pengaturan harga yang mereka lakukan tidak memiliki dampak yang luas ke
wilayah lainnya. Konsumen masih memiliki posisi tawar ataupun pilihan untuk
menolak ataupun tidak menolak. Banyak lagi contoh lainnya praktik kartel yang
dilakukan oleh sejumlah paguyuban-paguyuban pelaku usaha kecil. Praktk kartel
tersebut masih bisa ditoleransi pula, karena tidak ada restriksi atau
pembatasan bagi masuknya pendatang baru.
Jenis-Jenis
Kartel
Setelah
mengetahui dan memahami bentuk perilaku dan praktik kartel, perlu diketahui
pula jenis-jenis kartel. Dalam hal ini, praktik kartel dapat diidentifikasi
atau dideteksi berdasarkan jenis-jenisnya sebagai berikut.
1. Kartel
Daerah
Cakupan kartel
ini biasanya menggunakan indikator regional atau wilayah. Ada beragam bentuk
dan polanya. Misalnya, kartel yang membagi wilayah pemasarannya berdasarkan
regional tertentu. Perusahaan A menguasai Pulau Jawa, kemudian perusahaan B
menguasai wilayah di Kalimantan dan Sulawesi atau mungkin dibagi berdasarkan
distrik ataupun propinsi. Perusahaan A boleh memasukkan produknya ke wilayah
perusahaan B, tetapi tidak boleh melakukan pemasaran dengan agresif seperti
melakukan promo khusus regional.
2. Kartel
Produksi
Model kartel
yang memiliki bentuk kesepakatan untuk menetapkan kuota produksi bagi
anggota-anggotanya.
3. Kartel Harga
Model kartel
yang dilakukan dengan melakukan kesepakatan untuk menetapkan harga (price
fixing) untuk meniadakan persaingan harga. Modus praktik atau polanya bisa
bervariasi. Mereka bisa menetapkan harga terendah, termasuk kesepakatan harga untuk
musim penjualan (banting harga). Antara kartel harga dan kartel produksi
biasanya tidak saling terpisahkan atau biasanya menjadi satu kesepakatan.
4. Kartel
Kondisi
Kesepakatan
atau perjanjian bisnis yang mereka lakukan melalui praktik kartel berdasarkan
kondisi tertentu dalam perjanjian bisnis. Misalnya, pembuatan sistem
administrasi (prosedur) dalam pengambilan kredit kendaraan bermotor, penyusunan
mekanisme dalam penjualan tunai, prosedur dalam pemberian diskon (potongan
harga), bonus, dan sebagainya.
5. Kartel
Pembagian Laba
Model kartel
yang dalam perjanjiannya berorientasi untuk melakukan kesepakatan atas
pembagian laba. Biasanya, pembagian laba diberikan ke pihak (anggota) sebagai
bentuk kompensasi atas kesepakatan yang telah mereka setujui. Tujuannya tidak
lain untuk semakin memperkuat loyalitas di antara para anggota pelaku kartel.
Dalam dunia
nyata, praktik kartel biasanya tidak hanya terbatas untuk satu jenis kartel
seperti yang disebutkan di atas. Tidak jarang pelaku kartel dengan asosiasinya
justru menggunakan keseluruhan kesepakatan dalam 5 jenis kartel. Tujuannya
tidak lain untuk semakin mempersempit adanya persaingan dan tentunya membatasi
peluang masuknya pendatang baru. Jika aturan atau kesepakatan kartel ingin
dihormati atau dipatuhi anggota-anggotanya, tentu mereka bukan semata melakukan
praktik kartel harga maupun produksi, tetapi akan melakukan pula praktik kartel
pembagian laba.
Praktik Kartel
di Indonesia
Prinsip dasar
dari perilaku kartel adalah bentuk monopoli dan perilaku monopoli. Dua kondisi
tersebut sudah ada sejak berdirinya republik ini. Praktik kartel tersebut
merupakan warisan dari kongsi-kongsi perkebunan dan dagang di era pemerintahan
Hindia Belanda. Praktik monopoli ini pun sesungguhnya telah tercantum di dalam
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 berupa penguasaan sumber-sumber perekonomian
yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sementara itu, negara NKRI terbentuk
dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya wacana dan studi tentang
persaingan dan monopoli di dunia. Di Amerika Serikat sendiri, praktik kartel,
trust, dan monopoli barulah mulai disoroti sekitar dekade 1960an. Mengingat di
masa setelah kemerdekaan hingga 1960an belum banyak perusahaan-perusahaan
swasta, praktis perilaku kartel, trust, dan monopoli belum terlihat.
Perkembangan
perilaku monopoli baru mulai terlihat setelah memasuki era Orde Baru. Di awal
dekade 1970an, pemerintah mulai memberikan perhatian kepada pihak swasta untuk
didorong agar dapat memenuhi target pencapaian substitusi impor. Dengan melibatkan
modal asing ataupun investor asing, pencapaian substitusi impor tidak terlalu
lama bisa diwujudkan. Praktik kartel dan monopoli di kalangan swasta semakin
mulai terlihat pada dekade 1980an. Diduga praktik kartel dan monopoli tersebut
merupakan bentuk kesepakatan di antara pemerintah dan kalangan investor
(produsen), terutama kalangan investor asing yang melibatkan kalangan produsen
di dalam negeri. Apalagi sektor ekonomi yang digarap oleh kalangan swasta
tersebut membutuhkan biaya investasi yang cukup besar. Pemerintah hanya bisa
memberikan insentif atau perlakuan khusus kepada hanya beberapa produsen di
dalam negeri.
Salah satu
praktik kartel yang paling dominan di masa itu adalah kartel di antara produsen
otomotif. Sebelum masa reformasi 1998, terdapat pengaturan industri yang
menetapkan segmen teknologi untuk pasar kendaraan bermotor roda dua. Honda
diberikan penguasaan untuk memproduksi dan merakit kendaraan bermotor dengan
teknologi 4 tak. Sementara untuk Yamaha dan Suzuki diberikan penguasaan untuk
motor terteknologi 2 tak. Dalam hal ini, Honda tidak diperkenankan masuk
(merakit dan memproduksi) motor roda dua berteknologi 2 tak, kecuali
diperbolehkan masuk melalui impor yang berarti akan dikenakan PPn Bea Masuk
yang cukup mahal. Pada kelompok sedan, Toyota melalui ATPM-nya, yaitu Toyota
Astra Motor (TAM) mendapatkan kewenangan untuk bermitra dengan pemerintah dalam
menyediakan kendaraan-kendaraan dinas untuk pemerintah. Sekalipun demikian,
pihak TAM tidak diperkenankan untuk bermitra dengan kalangan swasta dalam
penyediaan kendaraan perkantoran, kecuali dengan kesepakatan tertentu. Praktik
kartel semacam ini masih terus berlangsung hingga saat ini. Di kelompok sedan,
mereka memiliki asosasi sendiri yang bernama Gabungan Industri Kendaraan Bermotor
Indonesia atau Gaikindo.
Pada tahun 2009
lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berhasil membongkar praktik
kartel dalam penetapan tarif layanan pesan pendek atau short message service
(SMS). Kartel tersebut melibatkan nama-nama perusahaan operator seluler seperti
PT Excelcomindo Pratama, Tbk., PT Telkomsel, Tbk., PT Telkom (Persero), PT
Bakrie Telecom, Tbk., PT Mobile-8 Telecom, Tbk., dan PT Smart Telecom. Praktik
kartel tersebut terindentifikasi dilakukan selama periode dari tahun 2004-2008,
serta merugikan konsumen sebesar Rp 2,83 triliun. Praktik kartel dalam industri
telepon seluler sesungguhnya sudah terendus cukup lama, bukan semata pada
layanan SMS, melainkan pula pada penetapan tarif panggilan (call). Sekalipun
pihak KPPU berhasil mengeksekusi kasus tersebut, tetapi denda yang dikenakan
untuk masing-masing perusahaan tidaklah seberapa apabila dibandingkan dengan
kerugian konsumen yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Praktik kartel
oleh para operator telepon seluler ini pun semakin meluas, bahkan semakin nyata
membatasi masuknya pendatang baru. Kasus yang hampir terungkap adalah kasus
operator seluler asal Malaysia, yaitu Axis yang diduga sempat mengalami tekanan
industri (politik), akibat tidak mengikuti aturan main dalam persaingan
operator telepon seluler.
Pada tahun
2005, KPPU berhasil membongkar praktik kartel dalam produksi garam di dalam
negeri. Kesepakatan tertutup yang dilakukan oleh sejumlah produsen tersebut
mengatur pasokan garam yang disuplai dari Sumatera Utara. Tahukah Anda, garam
ternyat bukan hanya bermanfaat di rumah tangga, melainkan bahan baku vital bagi
sektor industri tertentu. Tidak main-main, sektor industri yang sering
membutuhkan pasokan garam adalah industri perminyakan. Sektor-sektor lainnya
yang cukup penting membutuhkan pasokan garam seperti industri minuman, industri
kimia, industri farmasi, industri kertas, dan lain sebagainya. Begitu besar
manfaatnya, tetapi bertolak belakang apabila melihat nasib kesejahteraan para
petani garam.
Pada tahun 2010,
KPPU berhasil membongkar modus praktik kartel dalam industri minyak goreng
kemasan maupun minyak goreng curah. Minyak goreng merupakan salah satu dari
bahan kebutuhan pokok masyarakat yang kedudukannya sejajar dengan kebutuhan
pokok pangan. Praktik kartel tersebut diketahui telah berlangsung selama
periode April-Desember 2008 dengan modus price pararelism untuk jenis minyak
goreng kemasan maupun jenis minyak goreng curah. Kerugian konsumen ditaksir
mencapai Rp 1,27 triliun untuk jenis minyak goreng kemasan (bermerek) dan
sebesar Rp 374,3 miliar untuk jenis minyak goreng curah. Sekalipun demikian,
kasus ini kandas melalui kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA) atas pengajuan
banding oleh sebanyak 20 produsen minyak goreng lokal.
Praktik kartel
ini pun ternyata merambah ke industri farmasi. Sekali lagi, KPPU berhasil
membongkar adanya kartel di dalam penyediaan obat-obatan hipertensi jenis
amplodipine besylate yang melibatkan PT Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica.
Bentuk kartel yang dilakukan adalah jenis kartel harga. Ini barulah praktik
kartel untuk satu jenis obat-obatan yang berhasil dibongkar. Diduga kuat,
praktik kartel terjadi pula untuk obat-obatan lainnya. Masalah kartel dalam
industri farmasi di dalam negeri pernah disinggung oleh mantan Menteri Kesehatan,
Siti Fadila yang mengeluhkan tentang tata niaga perdagangan obat yang membuat
harga obat-obatan menjadi mahal.
KPPU sempat
pula membongkar dan mengeksekusi praktik kartel di kalangan operator
transportasi udara di dalam negeri. Bentuk praktik kartel yang dibongkar berupa
praktik kartel dalam penetapan harga tiket dan tarif fuel surcharge (avtur).
Industri penerbangan di dalam negeri mulai tumbuh dan berkembang sejak tahun
2005 dengan kemunculan nama-nama baru dalam maskapai penerbangan nasional.
Tidak disangka, kemunculan yang begitu cepat tersebut justru semakin memperkuat
jalinan komunikasi bisnis yang berujung pada praktik kartel. Atas kasus
tersebut, KPPU memberikan sanksi kepada PT Sriwijaya, PT Metro Batavia, PT Lion
Mentari Airlines, PT Wing Abadi Airlines, PT Merpati Nusantara Airline
(Persero), PT Travel Express Aviation Services, dan PT Mandala Airlines. Akibat
praktik kartel tersebut, konsumen penerbangan mengalami kerugian dengan
taksiran mencapai Rp 13,8 triliun selama periode dari tahun 2006-2008.
Sekalipun sempat mengajukan banding ke tingkat MA, tetapi pihak MA menolak
gugatan tersebut.
Penutup
Rasanya akan
menghabiskan cukup banyak halaman apabila menyebutkan satu per satu praktik
kartel dalam industri di Indonesia saat ini. Praktik kartel berlangsung dan
dilakuan di seluruh sektor perekonomian, tidak terkecuali pula sektor
pertanian, pertambangan, dan migas. Belum lama ini, pihak KPPU tengah melakukan
investigas terhadap adanya indikasi kuat praktik kartel dalam pengadaan komoditi
bawang putih dan pengadaan (impor) daging sapi. Mereka memiliki sendiri
asosiasi atau organisasi yang mewadahi kepentingan ekonomi mereka. Agenda
mereka cukup jelas, mengatur penetapan harga jual dan kuota (pasokan) ke dalam
negeri. Sekalipun legalitas mereka masih bisa sesuai dengan undang-undang,
tetapi keberadaan mereka terbukti telah membuat kekisruhan atau kekacauan harga
maupun pasokan komoditi di dalam negeri.
Sama halnya
dengan upaya untuk melakukan pemberantasan korupsi, untuk memberantas praktik
kartel maupun trust membutuhkan kemauan politik (political will) dari
pemerintah. Dibandingkan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), lembaga
komisioner seperti KPPU relatif kurang populer di kalangan masyarakat. Padahal,
isu kartel sesungguhnya cukup dekat, bahkan berdampingan maupun beriringan
dengan kepentingan politik di dalam isu-isu korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN).
Sebenarnya
tidak terlalu sulit untuk menghadapi praktik kartel. Pada tahun 2001, sejumlah
konsumen pengguna telepon seluler di Surabaya sempat melakukan ancaman
pemboikotan regional terhadap sejumlah operator seluler. Aksi serupa terjadi
lagi di tahun 2012 atas indikasi mafia (kartel) di dalam penyediaan layanan
spam. Sejumlah kalangan konsumen menggalang kampanye mengajak masyarakat untuk
memboikot penggunaan layanan telepon seluler. Sayangnya, persatuan sikap
konsumen seperti ini tidaklah selalu ada dalam setiap kasus kartel atas
komoditi tertentu. Di sinilah titik kekuatan para pelaku kartel maupun trust,
yaitu posisi tawar di antara produsen dan konsumen. Lembaga perlindungan
konsumen tidak selalu dapat menjamin, karena sikap ataupun keputusan dari
lembaga perlindungan konsumen tidak selalu mendapatkan dukungan politik dari
penyelenggara negara.
daftar pustaka
Postner,
Richard A., 2007, Economic Analysis of Law, 7th Edition, Aspen Publishers, New
York.
Samuelson, Paul
A. and William D. Nordhaus, 2001, Economics, Seventeenth Edition, McGraw-Hill,
New York.
Siswanto,
Arief, 2002, Hukum Persaingan Usaha, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
Komentar
Posting Komentar